6 Oktober 1973
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
1.400 tank Suriah mengobrak-abrik pertahanan Israel yang hanya berkekuatan 180 tank di Dataran Tinggi Golan. Sementara di Terusan Suez tentara Israel yang berjumlah 500 orang dikeroyok 80.000 prajurit Mesir. Peperangan ini sontak membikin tentara Israel kocar-kacir.
Kali ini Israel mengalami kerugian yang lumayan besar. Secara keseluruhan, kurang lebih 2.688 tentara Israel tewas, 7.000 orang cedera, 314 tentara menjadi tawanan perang, dan puluhan lainnya dinyatakan hilang. Selain itu, Israel juga kehilangan peralatan perang: kurang lebih 102 pesawat tempur dan 800 tank lenyap tak berimba.
“Perang Ramadhan 1973” adalah nama perang ini. Disebut demikian sebab perang ini meletus pada 6 Oktober 1973 yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Pada hari itu pula bertepatan dengan hari Yom Kippur. Yaitu hari yang paling suci dalam kalender agama Yahudi. Berasal dari bahasa Ibrani, Yom Kippur artinya hari perdamaian. Hari ini ghalibnya diperingati dengan berpuasa dan berdoa secara intensif selama 25 jam. Karena itu, perang ini juga disebut “Perang Yom Kippur”.
Pertempuran ini bisa dibilang aksi balas dendam. Tahun 1967, aliansi Mesir-Suriah-Yordania dilumpuhkan Israel dalam tempo 6 hari. Orang-orang menjulukinya dengan sebutan “Perang Enam Hari”. Israel berhasil menguasai beberapa wilayah: Dataran Tinggi Golan milik Suriah (dikuasai hingga kini), Gurun Sinai milik Mesir (kini sudah dikembalikan melalui Perjanjian Camp David), Tepi Barat (wilayah Yordania) dan Jalur Gaza.
Aliansi bangsa-bangsa Arab ini kemudian mengambil pelajaran dari kekalahan yang pernah menimpanya 6 tahun silam. Mereka tidak mau mengulangi kekalahan ketika momentum Perang Ramadhan ini, Israel versus koalisi Mesir-Siria.
Mesir menyadari, armada pesawat tempurnya banyak menggunakan teknologi lama dan konvensional dibanding Israel. Maka, harus ada strategi lain. Mesir akhirnya menerapkan strategi ‘payung udara’. Strategi ini menggunakan rudal dan meriam anti serangan udara, dengan cara memadukan jarak tembak. Meski mulanya berjalan efektif dan mampu membikin Israel kalang kabut, namun akhirnya strategi ini mampu dijinakkan.
Melihat pertahanan Mesir yang melemah, Uni Soviet tak tinggal diam. Ia turun tangan untuk menyokong serangan Mesir. Gara-gara Uni Soviet turut campur, Amerika Serikat tak mau ketinggalan. Ia membantu tentara Israel. Sejak saat itu, dunia tengah diancam perang besar yang melibatkan dua kekuatan super power paska-Perang Dunia II.
Iklim politik dan ekonomi dunia pun jadi tidak stabil. Hiruk-pikuk ini membuat Raja Faisal bin Abdul Aziz dari Arab Saudi mengambil kebijakan untuk membatasi produksi minyak. Akibatnya, terjadilah krisis energi, harga minyak dunia membumbung tinggi.
Untung saja Dewan Keamanan (DK) PBB cepat tanggap. Dua minggu setelah perang dimulai, Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan dan mengeluarkan resolusi 339 yang berisi anjuran gencatan senjata. [aum]
Syirah/Edisi 58/Oktober/2006.