Dulu lelakon zuhud dilakukan dengan menyepi di gunung. Nampaknya tak relevan lagi. Kini, zuhud berarti menyingkirkan hati dari gejolak nafsu.
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Muhammad SAW ia bertanya, “Ya Rasul, perbuatan apakah jika aku melakukannya maka Allah dan manusia akan mencintaiku?” “Zuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu; dan zuhudlah engkau terhadap segala kegemaran manusia, niscaya manusia akan mencintaimu,” jawab Nabi seperti dikisahkan dalam Sunan Ibn Majah karya Ibn Majah, ahli hadis kelahiran kota Qazvin, Iran (w. 273 H)
Zuhud biasa diartikan meninggalkan urusan dunia. Akar katanya dari zahada artinya tidak suka atau tidak menginginkan. Kamus Arab al-Munjid (penolong) mengartikan, zuhud adalah meninggalkan urusan duniawi guna beribadah dengan menyepi. Orang yang melakukan zuhud disebut zâhid. “Meninggalkan keluarga, menyepi di goa, mengasingkan diri, berpakaian compang-camping, lusuh, dan miskin,” demikian seorang zahid acap diidentikkan.
Kalau dulu, faktanya memang ada yang begitu. Ini setidaknya pernah dilakoni imam al-Ghazali (1058-1111 M), yang selama bertahun-tahun mengurung diri di tanah Syam atau yang sekarang disebut Syiria. Ibrahim bin Adham (seorang tokoh sufi yang wafat tahun 165 H/782 M) juga pernah melakukan. Ia meninggalkan keluarganya selama 18 tahun untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan, Nabi Muhammad SAW meninggalkan istri tercinta Khadijah guna melakukan zuhud selama berbulan-bulan dalam goa Hira, di Jabal Nur, dan akhirnya mendapatkan wahyu dari Allah.
Kenyataan ini tidak bisa ditampik. Dalam kitab hadis Shahih Bukhari dan Shahih Muslim ada riwayat lain. Alkisah, Rasulullah ditanya seseorang, “Manusia bagaimana yang paling utama, ya Rasul?” Nabi menjawab, “Lelaki yang berjuang dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” “Lelaki yang tinggal di sela-sela gunung untuk beribadah menyembah Tuhannya,” sabda Rasul.
Hadis-hadis itulah yang dijadikan landasan melakukan zuhud dengan cara menyepi, menjauh dari kehidupan masyarakat. Berzuhud model ini biasanya dijadikan alasan orang untuk takut menekuni dunia tasawuf, dan akhirnya zuhud menjadi tidak relevan lagi.
Padahal sejatinya tidak demikian. Zuhud tetap memegang peran penting. Dalam kitab al-Luma’ (Sebuah Berkas Cahaya), Abu Nashr al-Sarraj (w. 378 H) memandang, zuhud merupakan kedudukan spiritual yang mulia dan tapak kaki awal bagi orang-orang yang hendak menuju Allah azza wa jalla, Dzat yang Maha Agung dan Mulia. Jadi, sayang sekali jika zuhud dianggap model ibadah yang telah usang.
Zuhud dalam perkembangannya dijalankan dengan dua model. Model pertama, dengan memisahkan total antara perkara dunia dan akhirat. Kelompok ini memandang, dunia dan akhirat adalah sesuatu yang berbeda dan harus dipisah. Ini seperti digambarkan dalam kitab yang cukup populer di pesantren, Minah Al-Saniyyah, pemberian yang bagus, karya sufi kelahiran Mesir Abdul Wahab al-Sya’rani (898-973 H). Menurutnya, model ini efektif dijalankan dengan cara uzlah, menyepi dan menyendiri dari keramaian.
Model kedua adalah tidak semata-mata memisahkan dunia dan akhirat. Tapi, bagaimana menerapkan keduanya tanpa ada ketimpangan. Dunia dan akhirat, dalam konteks ini, dijalankan secara selaras, serasi, dan seimbang. Meski hidup dengan gelimang harta, tak secuilpun keinginan untuk menguasainya. Justru nikmat yang berupa harta itu dibagi-bagikan untuk kepentingan sosial dan kemaslahatan umum. Cara ini dinilai lebih realistis dan menjawab kebutuhan kekinian. Ini sebagaimana dipopulerkan Abu Nashr al-Sarraj dalam kitab al-Luma’.
Menurut al-Sarraj, zâhid itu terbagi menjadi tiga rangking. Pertama, orang yang tidak punya harta sepeser pun, begitu pula hatinya yang kosong dengan syahwat duniawi. Kedua, orang yang bisa melepaskan dirinya dari syahwat duniawi, padahal di sekelilingnya bergelimang harta, tahta, dan urusan dunia lain. Ketiga, bagi orang yang seandainya segala sesuatu di dunia ini menjadi miliknya dan nanti dia tidak akan dihisab di akhirat, tapi dia lebih memilih jalur zuhud: tidak mementingkan urusan dunianya, tapi memanfaatkan seluruhnya untuk kepentingan kemaslahatan umum.
Untuk menjalankan zuhud model kedua ini, manusia tetap harus “menyepi”, tapi dalam pengertian lain: menyingkirkan hati dari nafsu beserta bisikan dan bujuk-rayunya. Jelas, menyepi di sini bukan menjauhkan diri dari kehidupan manusia, tapi menjauhkan diri dari nafsu. Nafsu itu kan selalu mengajak kesenangan, karena itu menyepi dari nafsu berarti tidak bersenang-senang dan terjerumus dalam gelimang dunia.
Di era sekarang, menyepi dengan mengasingkan diri adalah suatu kenaifan. Kini, “menyepi” berarti menyingkirkan hati dari nafsu. Yaitu dengan cara mengenalinya lalu berperan sebagai pemegang kendali.
Berdasarkan pemaknaan ini, salah satu imam mahdzab empat dalam fiqih Ahmad bin Hanbal menyatakan, ada 3 macam zuhud. Pertama, menjauhi perkara-perkara yang haram, zuhud seperti ini adalah zuhud ala orang awam. Kedua, menjauhi sikap berlebih-lebihan dalam hal yang dihalalkan, ini merupakan zuhud ala orang-orang khusus. Ketiga, menjauhi apapun yang memalingkan hamba dari Allah, inilah model zuhud orang-orang makrifat.
Mengenali Nafsu dan Memegang kendali
Ada banyak jenis nafsu dalam al-Qur’an, antara lain: pertama, hawa nafsu. Seperti dijelaskan dalam surat al-Nâzi`at ayat 40. “..wa naha al-nafsa an al-hawâ..” jika orang-orang takut kepada Tuhan dan menahan diri dari hawa nafsu, maka surga adalah tempat tinggalnya. Hawa nafsu di sini adalah nafsu dalam pengertian umum, keinginan yang menyenangkan. Nafsu jenis ini juga sering disebut “nafsu hewani”, seperti makan, minum, syahwat, harta, kekuasaan, dan lain-lain.
Kedua, nafsu ammarah. Surat Yusuf ayat 53 mengisyaratkan, “...innâ al-nafsa laammâratun bi al-sûi..” sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan. Ammarah artinya menarik, mendorong, dan menyuruh. Berarti, nafsu yang hanya menyuruh kepada kejelekan dan kejahatan. Misal, ketika orang dikarunia harta yang melimpah, nafsu amarah memerintah menyimpannya untuk diri sendiri, atau digunakan untuk berfoya-foya.
Ketiga, nafsu musawwilah, artinya ahli mempesona atau ahli memukau. Tugasnya hanya satu, menyulap tiap-tiap yang jelek menjadi kelihatan bagus dan sesuatu yang terlarang kelihatan menjadi perintah. Misalnya, pamer, hasud, iri hati, rakus, tidak puas, sombong, mau menang sendiri, dan iri hati. Al-Qur’an mengisyaratkannya dalam surat Yusuf ayat 83, “Qâla bal sawwalat lakum anfusukum amran,” Ya’qub berkata, hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu.
Nafsu-nafsu itu tak lain laksana kuda tunggangan yang liar: kita yang akan pegang kendali, atau justru kita akan diombang-ambingkan? Jawabnya tentu ada pada diri kita masing-masing. Ingat pesan Rasulullah, “Jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu, bukan menghunus pedang di medan perang,” kata Rasul, seperti ditulis dalam Faidl al-Qadir, cucuran kekuatan, karya ahli hadis yang wafat tahun 911 H Abdurrauf al-Manawi.
Setelah kita mengenali nafsu, sekarang tinggal bagaimana cara mengendalikannya? Ada sebuah resep yang diberikan ulama untuk itu. Pertama, berbuat tanpa disertai keterikatan. Kedua, berbicara tanpa diikuti ambisi. Dan ketiga, kemuliaan tanpa adanya dominasi kekuasaan duniawi. Lebih lugas lagi, tiga resep itu berarti: berbuat tanpa pamrih, tidak mengumbar janji dan sombong, serta tidak mudah terbawa arus keduniaan.
Sikap ini tidak hanya diterapkan dalam hal ibadah, tapi juga dalam rangka mengelola pergaulan hidup di masyarakat, bahkan dalam memenej sebuah perusahaan.
Alkisah, sebut saja Joko, seorang pemimpin perusahaan di bidang media cetak. Media ini dikenal kritis dan menyuarakan kepentingan rakyat. Tapi sayang, tirasnya belum maksimal. Di tengah-tengah perjalanan, Joko mendapat tawaran menggiurkan. Ada inverstor besar yang mau membeli seluruh saham, dengan menawarkan iming-iming: kenaikan pangkat dan gaji berlipat.
Investor ini dikenal publik sebagai “pemain” politik, atau biasa disebut broker (calo politik). Joko pun memutar otak: jika inverstor sudah tidak berkepentingan, maka ia akan mencabut sahamnya, lalu perusahaan gulung tikar dan akan menambah angka pengangguran. Dan bisa jadi, media tersebut akan ditinggalkan pembacanya, sebab isi beritanya mengarah pada kepentingan si investor tadi.
Demi kelangsungan hidup karyawan dan menjaga iklim demokratisasi di Indonesia, Joko tetap pada pendirian semula, ia menolak. Dan berkat usaha kerasnya, akhirnya Joko mampu mengajak investor-investor kecil untuk bergabung di perusahannya. Beberapa tahun kemudian, Joko sukses membawa kemajuan pesat.
Ini adalah sepenggal kisah pemimpin perusahaan yang zuhud. Ia teguh berjuang demi tegaknya kedaulatan rakyat tanpa pamrih, mementingkan nasib karyawan daripada dirinya sendiri, dan tidak tergiur dengan iming-iming pangkat dan harta. []
Syir'ah/58/Oktober/2006.