Mendengarkan ceramah layaknya menikmati makanan. Banyak menu yang disajikan. Pendengar memilih seleranya masing-masing.
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Ruang lobi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta siang itu terasa sesak. Seperti biasa, saban hari Jumat ruang itu alih fungsi menjadi tempat shalat Jumat. Jamaah yang mayoritas para wakil rakyat itu menyimak khotbah dengan khusyuk. Tak seorang pun yang berbicara kecuali Yusnari Nosra, khatib siang itu, di atas mimbar.
Sang khatib itu berceramah dengan nada tinggi. “Gus Dur enggak pantas jadi pemimpin, karena telah menganggap al-Qur’an itu porno. Kalau meninggal enggak perlu dishalatkan, bahkan dzikirnya saja bersama Inul,” pekiknya kepada Jamaah.
Sontak saja, pernyataan itu menyulut protes dua orang jamaah, Mansyur Syahrozi dari Fraksi Kebangkitan Reformasi, dan Mustaman dari Fraksi PDI Perjuangan. Keduanya langsung berteriak, “Turun! Batal!”
Meski diinterupsi jamaah, pria yang juga Staf Biro Keuangan Pemda DKI Jakarta itu tetap acuh. Khatib yang berjenggot lebat itu tetap meneruskan ceramah. Usai shalat, Hasan Ishak, politisi senior PKB menyesalkan kejadian itu. “Ini bukan forumnya, khotib tidak boleh memaki-maki dan menuduh seseorang. Siapapun orangnya,” tandasnya seperti dikutip Rakyat Merdeka.
Kejadian ini belum lama, tepatnya tanggal 25 Agustus. Untung saja aparat tidak mengambil tindakan apa-apa, sebab ternyata Yusnari mengeluarkan kata itu bukan dari karangannya sendiri namun mengutip sebuah buku. Ia sendiri akhirnya meminta maaf kepada Gus Dur alias Abdurrahman Wahid atas kejadian itu.
Dalam kasus lain aparat kepolisian tak segan-segan menangkap penceramah model ini, yang menebar kebencian pada yang lain. Tiga tahun yang lalu, tulis Radio Nederland, usai memberikan khotbah Jumat di masjid daerah Masohi Maluku, polisi menangkap khotib beserta tiga rekannya yang berkebangsaan Pakistan. Saat itu, Maluku masih dalam status darurat sipil sejak September 2001 akibat pertikaian warga Islam dan Kristen yang telah menewaskan lebih 5000 orang.
Bagi praktisi dakwah, Khoirul Huda Basyir, sebagaimana ia ungkapkan dalam Talkshow Islam Indonesia yang bertajuk Metode Dakwah Kontemporer di Metro TV, keadaan ini sudah tak asing lagi. Sekretaris Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama ini mengamati, hingga kini ceramah-ceramah di masjid dan majlis taklim masih banyak diwarnai gaya dai yang agitatif atau provokatif.
Jika para dai penebar kebencian itu mendapat sambutan sinis dari mad’u atau audiens, lain halnya dengan para dai yang lebih berpenampilan lembut dalam isi dakwahnya. Lihat saja Abdullah Gimnastiar, yang akrab dipanggil AA Gym. Saat datang di Palu, kiai kelahiran Bandung 29 Januari 1962 itu disambut haru, dengan tetesan air mata, baik umat Muslim maupun Kristen. Tak hanya di masjid, ia juga ceramah di Gereja Poso.
Di hadapan jamaah Kristiani, Bapak dari enam anak ini berpidato. “Ibu dan Bapak sekalian, kita berbeda agama, tapi kita sama-sama manusia yang memiliki hati. Andaikata kebencian bisa menghidupkan yang mati, marilah kita saling membenci. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya... Semoga kita dikuatkan untuk bisa hidup berdampingan tanpa saling menyakiti,” katanya seperti tertuang dalam Aa Gym Apa Adanya, buku biografi yang ia tulis sendiri.
Menurut pengamatan pemimpin Ponpes Daurut Tauhid Bandung itu, penyebab terjadinya kerusuhan itu karena rakyat Indonesia masih suka menonjolkan golongannya dan menganggap golongan lain tidak benar. Untuk memahami perbedaan, Aa Gym mencontohkan bangunan beton. Materinya terdiri atas semen, besi, batu krikil, dan air. Tapi mengapa dapat berdiri kokoh? “Karena bahan-bahan yang di dalamnya tidak saling menonjolkan diri,” terangnya.
Mengapa dakwah AA Gym begitu lembut dan sederhana? Berawal dari realitas kebanyakan orang yang selalu menyalahkan orang lain, karena lupa diri. Alumnus Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan Universitas Padjajaran Bandung ini menawarkan konsep baru Syiar Islam, dengan mengajak orang untuk memahami hati atau qalbu.
Karena prinsip itu, anak tertua dari empat bersaudara ini dapat diterima hampir semua kalangan, tak pandang agama dan partainya apa. Ia tidak hanya kondang di tanah air, namanya juga berkibar di mancanegara. Sampai-sampai majalah Time edisi 11 November 2002, menjuluki kiai yang bernama asli Yan Gymnastiar ini dengan The Holy Man, manusia suci.
Tak semasyhur AA Gym, Abdullah Said sebatas kondang di Jawa Timur. Kiai andalan JTV (Jawa Timur TV) ini tayang saban hari Kamis jam 20.00-21.00. Wak Kaji Show nama program unggulan itu. Badan yang tambun dibalut baju koko, rambut putih ditutup kopyah hitam, dan sarung melambai di lantai adalah gaya kiai yang sudah berusia 63 tahun ini saat tampil di layar kaca.
Dani, manager Wak Kaji Show, bercerita kepada Syir’ah via telpon. Acara itu dilatarbelakangi kegelisahan masyarakat atas merebaknya dai-dai yang orientasi ceramahnya berkutat ihwal surga dan neraka. “Kita ingin menyajikan wacana agama yang moderat kepada masyarakat,” tandasnya.
Ketika ditanya Syir’ah, bagaimana pak kiai menanggapi keragaman di Indonesia? Ia menjawab dengan logat Suroboya yang kental. “Kullukum min adam wa adam min turab, manusia itu dari nabi Adam, dan Adam dari debu,” katanya. Jadi, hakekat manusia adalah sama, tak perlu dibeda-bedakan. Kalau memang ada yang tidak sama, imbuhnya, coba dipelajari mengapa ada perbedaan, lalu dicari titik temunya di mana.
Karena itu, ceramahnya tidak hanya digandrungi kalangan Islam saja, non-muslim juga gemar mendengarkan. Kiai yang tinggal di Bangil Jawa Timur ini memang lebih banyak bicara soal etika bermasyarakat daripada memperuncing perbedaan. Suatu ketika ada pemirsa yang bertanya kepada Said.
“Wak kaji, kalau ada orang Kristen mati apakah bisa masuk surga?”
Dengan diplomatis Kiai Said memberi jawaban. “Wong urip iku seng (orang hidup itu yang) penting berbuat baik kepada orang lain. Urusan besok masuk surga atau neraka itu urusan yang di atas (Tuhan).”
Waktu remaja, ia banyak belajar di tempat yang kulturnya berlainan. Saat nyantri di perguruan Al-Irsyad Surabaya, ia juga belajar di masjid Sunan Ampel. Kemudian secara bergiliran, Said juga menimbah ilmu di pesantren beraliran NU, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam. Ia belajar cara pandang semua kelompok-kelompok dalam Islam itu.
Karena itu, “Saya tidak fanatik pada satu kelompok, apalagi merasa benar sendiri,” tegas kiai yang doyan humor itu. Meski sudah tua, Humor adalah gaya khas Said. karena kebiasaannya itu belakangan ini enggan khotbah Jumat. Apa pasal? Said takut nanti jamaahnya akan ketawa saat ia berkhotbah.
Gaya humor sekarang ini memang lagi ngetren di dunia dakwah. Tengok saja para dai muda saat berceramah di televisi, suara tawa audiens tak lelah terus berkumandang. Selain humor, ada gaya lain yang disukai: gaya gaul.
“Kasihan deh lo..!” “So what gitu lo..” Celetukan itu kerap meluncur dari mulut M. Subkhi al-Bughury. Ustad gaul, begitu dia biasa disebut. Di layar kaca, ustad yang berdakwah sejak SMU ini kerap tampil di Lativi, mengisi ceramah di acara Pildacil, Pemilihan Dai Cilik.
Selain Subkhi masih banyak sederet dai muda yang berpenampilan gaul dan humoris. Sebut saja Ujay atau Ustad Jefry Al-Buchory, Ustad Ahmad Al-Habsy, dan lain sebagainya. “Kalau disampaikan dengan humor, pesan-pesan agama itu begitu mudah dicerna,” kata Budi Susanto, warga Kebon Jeruk Jakarta Pusat. Pria yang baru lulus dari Universitas Trisakti ini memang lebih suka dengan gaya dai humoris.
Berbeda dengan Munawar, warga Buncit Jakarta Selatan ini lebih memilih gaya dai yang lembut dan moderat. “Kita dengerin pengajian itu kan biar hati kita merasa sejuk dan pikiran kita tercerahkan,” ujarnya.
Kecenderungan masyarakat seperti ini ternyata tak selalu sejalan dengan para takmir masjid yang menjadi penentu dai atau mubalig mana yang dipilih untuk ceramah di masjidnya. Para takmir memiliki kriteria sendiri dalam pilihannya.
Ahmad Dahlan, Kepala Kantor Masjid Pondok Indah Jakarta Selatan, memberikan dua kriteria: ahli dalam bidang agama, dan tidak terlalu ekstrim. “Sebab yang ektrim itu biasanya membikin ricuh,” tandasnya.
Di sisi lain, ada beberapa takmir yang memilih dai atau mubaligh yang tegas. Misalnya Heri Hermawan, Ketua Pelaksana Harian Masjid Cut Mutia Menteng Jakarta Pusat ini memilih penceramah yang tegas, tapi tidak menyulut amarah. “Kalau memang ada aliran tertentu yang sesat ya harus dikatakan sesat,” tegas pria yang mengidolakan Abu Bakar Ba’asyir dan Jakfar Umar Thalib ini.
Sedang pengurus masjid Baitul Salam di kawasan Sudirman Jakarta Pusat lebih melihat jamaahnya. Permintaan jamaah yang variatif menjadi pertimbangan akan pilihan penceramah.
Mereka tak selalu menampilkan dai yang lunak, juga sering mengundang dai yang bernada keras dalam ceramahnya. Jamaah masjid Baitul Salam ternyata mewakili berbagai variasi jamaah yang ada di masyarakat. “Ya.. karena yang shalat Jumat di sini orangnya berbeda-beda. Ada yang ekstrim dan ada yang suka lembut,” kata Sudarman Ketua pelaksana Harian Majid Baitul Salam berargumen. []
Syir'ah/58/Oktober/2006.