Abduljalil Sajid intlektual muslim asal Pakistan, tinggal di Inggris, berdialog secara eksklusif kepada Syir’ah ihwal keadaan umat Islam di Barat. Merebak Islamphobia yang berakibat buruk bagi umat Islam di sana
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Awal bulan kemarin, Syir`ah kedatangan tamu dari Inggris. Menurut rencana, ia akan berkunjung ke kantor redaksi dan berdiskusi ihwal persoalan umat Islam di dunia. Hari kamis, tanggal 5 Oktober, pukul 16.00 WIB, pertemuan itu rencananya digelar. Sayangnya, pertemuan itu urung dilaksanakan di jalan Asem Baris Tebet Jakarta Selatan.
Sehari sebelumnya, intelektual dari negeri sepakbola itu merubah rencana awal. Pria yang juga seorang mufti di Inggris ini akhirnya mengundang Syir’ah di Wisma Syahidah Ciputat, hari Kamis pukul 09.00 WIB. Pagi itu, wartawan Syir’ah Abdullah Ubaid Matraji menunggu Sang Tamu di ruang lobi gedung yang terletak di samping kampus pasca sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Selang satu jam, muncul sosok pria berkulit bule dari lift. Badannya besar dan tegap. Hampir tiga puluh persen mukanya ditumbuhi rambut lebat. Panjang jenggotnya tak kurang dari empat senti meter. Dialah tamu yang ditunggu-tunggu itu. Nama panjangnya Imam Dr. Abduljalil Sajid.
Di Inggris, Sajid bergabung dengan jaringan kerjasama antaragama, namanya The Inter Faith Network for the United Kingdom, untuk membangun pola hidup yang harmonis antarumat beragama. Jaringan ini didirikan sejak tahun 1987, yang menghimpun lebih dari seratus organisasi dari berbagai agama dan keyakinan di Inggris. Sajid sendiri berasal dari Imam and Mosques Council, organisasi para imam dan masjid di Inggris.
Ada kesepakatan bersama yang diperjuangkan kelompok itu. Antara lain: saling menghormati kebebasan individu dalam beragama dan berkeyakinan, bekerja sama untuk mencegah konflik dan tindak kekerasan, serta menghormati tradisi masing-masing agama: dari soal pakaian, makanan, hingga etika sosial.
Sepanjang obrolan terasa keprihatinannya dengan kondisi umat Islam belakangan ini. Kian hari kian terpojokkan dan terhimpit. Di beberapa negara Barat bahkan ada yang mensahkan razia dan sweeping terhadap umat Islam. “Islam gandrung kekerasan”, “Islam agama teroris”, “Islam tidak berprikemanusiaan”, dan banyak lagi slogan miring atas Islam. Hal ini membawa rasa pedih yang mendalam bagi umat Islam, terutama kalangan minoritas muslim di Barat, seperti dirinya. Tuduhan-tuduhan itu selalu dilandaskan pada peristiwa 9/11 yang meluluhlantakkan menara kembar World Trade Centre di New York tahun 2001.
Jamila Sajid, istri intelektual kelahiran Pakistan itu juga tak luput dari sasaran. Ia mengaku sering mendapat telepon kaleng dan intimidasi dari orang yang tak dikenal. Begitu pula dengan masjid-masjid tempat ia beribadah di kawasan Brigton Inggris. Juga tak luput dari sasaran aksi balas dendam orang-orang non-muslim. “Kurang lebih satu bulan penuh saya takut keluar rumah,” katanya seperti diceritakan Sajid.
Paska tragedi 9/11, di Barat muncul istilah Islamphobia, ketakutan orang-orang Barat yang berlebihan terhadap Islam. “Langkah apa yang Anda lakukan melihat situasi waktu itu?” tanya Syir’ah dengan bahasa Arab.
Imam masjid yang juga Ketua Dewan Muslim untuk Keharmonisan Agama dan Rasial ini menjawab dengan bahasa Inggris. Ia menunjukkan kepada Syir’ah buku berwarna biru. Ada gambar ledakan yang menyemburkan api di covernya. Sembari menenteng buku itu, ia menerangkan.
“Untuk menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya, saya melakukan investigasi,” katanya. Sajid melihat, yang bersuara nyaring saat itu adalah media-media orang Barat yang miskin perspektif Islam. Karena itu, Islam seakan menjadi terdakwa tanpa proses pengadilan. Ia mengambil sample (contoh) 19 muslim dari negara yang berbeda-beda untuk diwawancarai soal-soal seputar terorisme. Hasil investigasi itu, ia tuangkan dalam buku berjudul Why Teror, Is There No Alternative?, seperti yang dipegang di tangannya tersebut.
Apa kata mereka? “Saya menyimpulkan bahwa mereka sepakat, terorisme adalah propaganda Barat untuk melemahkan kekuatan umat Islam,” tegas imam masjid yang juga ketua World Conference of Religion and Peace itu.
Entah disengaja atau tidak, tiba-tiba pembicaraan terputus sejenak. Tangan Sajid mengambil majalah Syir’ah yang tergeletak di atas meja di depannya.
“Islam Indonesia?,” tanyanya.
“Ya, menemukan kembali Islam Indonesia,” jawab saya.
Majalah itu adalah Syir’ah edisi khusus ulang tahun bulan September 2005. Ia mengkritik istilah “Islam Indonesia” yang digunakan Syir’ah.
“Bukan Islam Indonesia. Yang benar adalah Muslim Indonesia,” kritiknya.
Lalu, Syir’ah tanya balik, “Apa beda kedua istilah itu?”
Ia menjelaskan. Islam itu satu, yang jadi rujukan juga sama: al-Quran dan hadis. Jadi, tidak ada istilah Islam Indonesia. Lain halnya dengan “muslim Indonesia”. Kalau muslim Indonesia itu baru benar. Sebab, orang muslim itu banyak ragamnya: mulai dari cara beribadah, bermuamalah (bergaul dengan sesama manusia), sampai dengan memahami ayat-ayat al-Quran.
Perbedaan-perbedaan itu, menurut Sajid, tak lepas dari kondisi ruang dan waktu masing-masing tempat. Jadi, muslim Indonesia dalam mempraktekkan ajaran agama Islam berbeda dengan muslim Lebanon, berbeda dengan muslim Amerika, dan seterusnya. “Itulah yang disebut keragaman dalam Islam,” terang mantan anggota komisi muslim Inggris dan Islam phobia itu.
Pria yang sehari-hari menggeluti multikulturalisme dan isu-isu agama itu kemudian menaruh kembali majalah Syir’ah dan melanjutkan pembicaraan yang terputus tadi. “Karena itu, umat Islam harus bersatu,” kata Sajid memfokuskan lagi pembicaraan. Bersatu bagaimana?
Ia mencontohkan kekuatan United States of Amerika (USA). USA mampu menghimpun negara-negara di benua Amerika untuk menjadi kekuatan di dunia: satu mata uang (Dollar), satu kebijakan luar negeri, dan satu militer. Begitu pula dengan negara-negara di Eropa. Mereka berhimpun dalam European, dan mengeluarkan satu mata uang (Europ), kebijakan luar negeri, dan militer. Mengapa negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim belum bisa bersatu?
Sajid menyadari, menyatukan umat Islam itu tak semudah layaknya menyatukan negara-negara di Amerika atau Eropa. Umat Islam punya latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari geografi, etnis, bahasa, sampai ragam tradisi lokal yang berkembang di negara masing-masing. “Ini adalah tugas utama umat Islam yang harus kita usahakan bersama,” terang intelektual yang sudah 34 tahun membina keluarga di Inggris ini.
Untuk bisa maju dan bersatu, umat Islam tidak perlu merasa superior, merasa paling unggul dan benar sendiri. Apalagi, harus melakukan tindakan-tindakan yang destruktif, aksi-aksi kekerasan. Menurut Sajid, Umat Islam harus mampu menjaga hubungan baik dengan umat agama-agama dan kepercayaan lain. Apa maksud? Agar kesalahan persepsi “orang luar” tentang Islam tidak terjadi lagi, dan yang terpenting adalah menciptakan hubungan yang harmonis atas dasar kemanusiaan. []
Syir`ah, Edisi 59, November 2006.