Pembunuhan terjadi di Bobojong, Bogor, terhadap seorang warga yang dituding sesat. Banyak fakta yang belum terungkap. Ada yang menyebut bukan masalah agama pemicunya, tapi kecemburuan sosial.
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
“Kok rasanya begini?” perasaan hati Hasiri Muttaqin dilanda gundah. Ia mencoba menepis perasaan itu dan tetap naik mimbar menyampaikan khotbah shalat Idul Fitri 1427 Hijriah, hari Selasa 24 Oktober lalu, di lapangan Yayasan Kharisma Usada Mustika (Yaskum) yang berada di Kembangan Baru, Jakarta Barat. Di atas mimbar Hasiri merasa hambar. Tak seperti biasanya.
Keesokan harinya, pembina Yaskum itu memutuskan berangkat bersama keluarga ke Garut, Jawa Barat. Di kota dodol itu, pria kelahiran Bangkalan, Madura tersebut berniat silaturahmi dan berziarah ke makam Muhammad Syamsu Bulganon Abdullah, sesepuh Yaskum sekaligus mertuanya. Hari Kamis malam, perasaan resah gelisah malah menjadi-jadi tak karuan. Ia pun tak kuasa tidur hingga larut malam. “Ada apa ini?” hati kecilnya kembali bertanya-tanya.
Tanda tanya itu terjawab ketika Muhammad Mamat Hasbullah, salah satu pimpinan Yaskum, menghubunginya lewat telepon.
“Ada kejadian di Bogor,” katanya di ujung telpon
“Kejadian apa?” tanya Hasiri.
“Itu ada murid Pak Munir yang di Bogor dikeroyok massa lalu meninggal.” Jawab Mamat seperti diceritakan Hasiri kepada Syir`ah.
Pak Munir itu nama panggilan dari Munir Anwar, ketua Yaskum cabang Cipondoh Tangerang. Sedangkan murid Pak Munir yang dimaksud adalah Mohammad Alih Sobari. Warga kampung Bobojong, desa Petir, kecamatan Darmaga, kabupaten Bogor ini sehari-hari bekerja di ladang dan beternak ikan gurame. Sejak tahun 1999 ia aktif sebagai anggota Yaskum.
Yayasan ini sudah melakukan kegiatan sejak 1969. Pendirinya Muhammad Syamsu Bulganon Abdullah (alm.), atau biasa dipanggil Aki Syamsoe. Garapan utamanya pembinaan mental dan spiritual. Baru tahun 1996 berbadan hukum dan diberi nama Yaskum. Dalam aktifitasnya, kata Hasiri, Yaskum tidak merambah soal-soal fikih. Tapi, lebih pada aksi sosial, antara lain pengobatan baik secara medis maupun spiritual, penanganan korban narkoba, memberikan beasiswa, dan mendirikan usaha mandiri. Kini, jumlah anggotanya kurang lebih 4 juta orang yang tersebar di 27 provinsi.
Malam, 26 Oktober, menjadi malam kemalangan bagi Alih. SEbulang dari acara tahlilan pukul 19.30 WIB, pria berusia 40 tahun itu shalat Isya di masjid Uswatun Hasanah, masjid tak jauh dari rumahnya. Jaraknya sekitar 45 meter. Usai shalat Alih berniat pulang ke rumah. Begitu keluar, Alih langsung dihadiahi pukulan dan tendangan oleh beberapa orang, kopiahnya jatuh ke tanah dan ia tersungkur.
Alih sempat melarikan diri, tapi langsung ditangkap oleh massa yang sudah menunggunya. Berdasarkan penyelidikan Kepolisian Sektor Darmaga, Bogor, waktu itu ada sekitar 250 massa yang berasal dari tiga kampung: Bobojong, Sempur, dan Ijul.
Kemudian, Alih diseret kurang lebih 200 meter dari masjid menuju villa kosong. Di villa yang terletak di perbatasan kampung Bobojong dan desa Petir itulah Alih dipukul ramai-ramai. Golok, kayu, batu, secara tak beraturan bersarang ke tubuh dan wajah bapak dua orang anak ini.
Darah Alih tak terbendung, mengalir deras membasahi pelataran villa milik warga Jakarta bernama Syamsul Bahri, yang sudah lama tak berpenghuni itu. Alih babak belur dan tergolek merintih lirih. Tak jelas ia melafalkan apa, bibirnya tampak bergerak-gerak tanpa suara. Massa yang masih kalap itu menyeret Alih ke kantor kepala desa. Di tengah perjalanan, ada mobil angkutan kota (angkot) melintas, lalu berhenti seketika. Melihat si korban, supir angkot terperanjat. Ternyata, yang babak belur itu adalah rekannya.
Tanpa pikir panjang, Alih dimasukkan ke dalam angkot. Tapi, massa tiba-tiba merangsek ke mobil itu. Mereka tahu kalau sopir itu ternyata pengikut Alih yang bernama Uca. Sembari menyetir mobil yang ditumpangi jasad Alih, Uca dihujani pukulan dan tamparan lewat jendela mobil. “Uca pun terus tancap gas hingga lolos,” kata Muhammad Bulganon Amir, Ketua umum Yaskum.
Menurut versi sumber lain massa tidak sampai memukuli Uca. “Ada beberapa orang yang mau memukul tapi tak jadi karena ada yang melarang,” katanya.
Mobil yang dikendarai Uca tadi akhirnya bertemu mobil ambulan di daerah kampung Jadipa, di depan masjid jami Al-Mubarok, kurang lebih 1,5 kilometer dari tempat kejadian.
Jasad pria yang juga mahir mengobati orang sakit itu dipindah ke mobil ambulan dan dibawa meluncur ke rumah sakit Palang Merah Indonesia Bogor. Di rumah sakit itu Alih dipastikan tak bernyawa. “Sejak suami saya keluar rumah untuk tahlilan, saya tidak tahu lagi, tahu-tahu dia sudah meninggal. Tak tahu meninggalnya jam berapa dan ketika di mana,” kata Mintarsih dengan lirih saat ditemui Syir’ah di kediamannya.
Sejak peristiwa itu, aura warga dan suasana kampung Bobojong mencekam. Tak terdengar suara keras apalagi tawa anak-anak di kampung itu saat Syir’ah investigasi ke lokasi kejadian. Hujan rintik-rintik turun mengiringi langkah setapak demi setapak. Puluhan pasang mata menatap Syir’ah dengan tajam. Wajahnya mengunjuk roman curiga juga takut. Tepat di belakang masjid Uswatun Hasanah, ada sosok pria setengah baya mengaduk-ngaduk pasir dan semen. Syir’ah mendekat, menyapa, dan bertanya?
“Apa benar peristiwa yang menimpa Pak Alih terjadi di sini?” tanya Syir’ah sembari menunjuk ke masjid.
“Saya tidak tahu, tidak tahu...” jawab pria itu sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Hujan semakin deras dan lebat. Syir’ah pun menepi di rumah salah seorang warga. “Saya tidak tahu apa-apa Mas... jangan tanya saya,” ujar si pemilik rumah yang membuat Syir’ah tersentak dan heran. Niatnya hendak berteduh malah disangka akan bertanya. Bahkan, beberapa rumah warga yang mulanya pintunya terbuka, begitu melihat Syir’ah yang bawa tas ransel dan menenteng kamera, langsung menutup pintunya. “Brak...!”
Sejenak Syir’ah kebingungan harus mencari informasi pada siapa. Nampaknya ada semacam aksi tutup mulut. Akhirnya Syir’ah mampir di kedai kecil dekat masjid untuk menghela nafas sembari minum teh hangat. Tak terduga, di kedai itulah pintu informasi terbuka lebar.
Penjaga kedai bernama Neneng. Wanita belasan tahun berkulit putih ini ternyata masih ada hubungan darah dengan Alih. Ibunya adalah saudara kandung Mintarsih, istri Alih. “Main aja Mas ke rumah Pak Alih, keluarganya terbuka kok,” anjur Neneng.
Syir’ah lalu menuju rumah Mimin, panggilan akrab Mintarsih (30 tahun). Seorang anak remaja menyambut di depan pintu. “Itu ibu saya,” kata Alfiansyah, usia 15 tahun, putra sulung Alih. Sosok wanita berkulit sawo matang, tinggi badan sekitar 150 sentimeter, dan rambutnya panjang terurai mempersilahkan Syir’ah masuk. Perutnya buncit sedang hamil.
Di tempat berukuran 5X4 meter itu Syir’ah beramah-tamah dengan Mimin dan dua orang anaknya. Anaknya yang kedua bernama Aldevianti, berusia tujuh tahun.
Peristiwa sebulan yang lalu tak pernah dilupakan Mimin. Apalagi saat ditinggal Alih, Mimin tengah berbadan dua, dengan usia kehamilan empat bulan. “Saya tak habis pikir, mengapa mereka tega membunuh suami saya, apa kesalahan dan dosa-dosa dia?” kata Mimin dengan suara lirih. “Saya juga tidak mengerti, kata orang-orang, suami saya menyebarkan aliran sesat,” imbuhnya.
Menurut Muhammad Iqbal Iskandar, pengasuh pesantren Hidayah al-Bayan yang berada di desa Bobojong, tuduhan itu muncul dari warga Bobojong. Ada beberapa kegiatan yang menyebabkan tuduhan sesat itu dialamatkan kepada Alih. Antara lain, kalau tengah malam ada ritual dzikir yang disebut “laporan ke Tuhan”.
Dengan dasar itu Syir’ah bertanya pada Mimin, “Apa yang dilakukan Ustad Alih saat tengah malam?”
Sebelum menjawab, wanita kelahiran Bobojong ini mengklarifikasi. “Suami saya kok dipanggil ustad sih?, Alih itu bukan ustad, dia orang biasa,” katanya. Warga Bobojong biasa memanggilnya Abang atau Kakak.
Mimin lalu menjelaskan apa yang dilihat ketika tengah malam. Alih, anggota Yaskum itu kalau tengah malam, menurut Mimin, sering tidak tidur. Kalau ada teman-temannya, dia mengajak mereka untuk dzikir kepada Tuhan dan shalat Tahajud. Lampu ruangan dimatikan. “Kata suami saya, biar lebih khusyuk,” urai Mimin.
Menurut Hasiri, pembina Yaskum, bacaan dzikir yang digunakan anggota Yaskum tidak ada yang berbeda, layaknya bacaan masyarakat yang lain. “Mulai dari allĆ¢hu akbar sampai lĆ¢ haula walĆ¢ quwwata...” kata Hasiri saat ditemui Syir’ah di studio Metro TV sambil menyodorkan lembaran bacaan dzikir yang berlaku di Yaskum.
Selain itu, Alih juga dituduh mengajarkan ritual shalat yang cukup dengan niat saja. Giliran Muhammad Bulganon Amir angkat bicara. Ia menjelaskan kepada Syir’ah ketika ditemui di kantornya di Kembangan Baru Jakarta Barat 25 Nopember lalu. Abang Ebul, panggilan akrabnya, malah balik bertanya. “Kenapa banyak orang shalat tapi kelakuannya masih bejat?” Baginya, ini akibat menjalankan shalat hanya sebatas ritual. Shalat itu harus dilandasi dengan kesadaran, dan kesadaran itu butuh proses.
Dalam kasus Alih, Abang Ebul memberi tanggapan. “Apa benar dia menyebarkan shalat hanya dengan niat, sementara dia dibunuh habis shalat di masjid,” tandasnya.
Menurut Mimin, suaminya juga kerap dituduh menyebarkan ajaran yang melarang orang menunaikan haji ke Makkah, tapi cukup di Cipondoh Tangerang saja. Abang Ebul kembali menjelaskan dengan fakta. Ia memanggil salah seorang anggota Yaskum, yang kebetulan berada di dekatnya. Ia lalu bertanya ke sosok perempuan tua yang masih kelihatan enerjik itu.
“Bu, tahun lalu kan Ibu baru saja haji. Waktu itu Ibu haji ke mana?” tanyanya santai. “Ya ke Makkah lah.” Jawab perempuan itu sembari terheran. Abang Ebul terdiam sejenak. “Kalau melarang haji bagi orang yang tak mampu itu memang benar, tapi kalau melarang orang haji ke Makkah itu baru fitnah,” tegasnya.
Hingga kini, Majelis Ulama Indonesia belum memberikan keputusan ihwal Alih. “Masalah ini kami limpahkan ke pusat dan masih dalam proses pengkajian,” kata Ketua MUI Kabupaten Bogor Ahmad Mukri Aji saat dihubungi Syir’ah pertengahan Nopember.
Rencana warga Bobojong untuk menghakimi Alih ini bukan kali pertama. Tahun 2005, warga sudah mau mengusir Alih. Untung saja, waktu itu dia diselamatkan oleh salah seorang warga lalu dibawa pergi ke wilayah Tangerang, Banten. Alih selamat. Selang beberapa bulan, sekitar tiga bulan, Alih balik lagi ke Bobojong. Kasak-kusuk warga pun kembali merebak.
Menurut versi Iqbal masyarakat setempat melihat ada perbedaan ritual yang dilakukan Alih dan anak buahnya. Kemudian mereka tak bisa menerima sesuatu yang berbeda dan akhirnya ditanggapi dengan emosi. “Kayaknya mereka sudah kesal dengan Alih,” kata alumnus Universitas Ibnu Khaldun ini.
Berbeda hal dengan analisis Abang Ebul. Menurutnya, tragedi yang menimpa Alih dipicu rasa iri atau dengki. Pria yang umurnya sudah berkepala lima ini memandang kasus ini dari sudut sosiologis. Alih itu orang kampung yang biasa-biasa saja, tidak lebih pintar dari ustad-ustad di daerah sekitar.
Namun ia dikenal pandai mengobati orang. Setahu Mimin, Alih tidak buka praktik khusus. Tapi banyak orang yang datang minta disembuhkan penyakitnya. “Alhamdulillah sembuh,” kata Mimin. Dari saudara, tetangga bahkan orang luar kampung juga datang meminta tolong.
“Tapi, mengapa Alih lebih sering didatangi orang-orang, bahkan dari luar desa?” tanya Abang Ebul. Pada titik inilah kecemburuan sosial itu bercokol. “Karena itu, kasus ini harus dituntaskan secara hukum, dan dalangnya juga harus tertangkap,” tegas pria berdarah Aceh ini.
Meski sudah ada empat tersangka yang diciduk polisi, mungkin butuh cukup waktu untuk mengungkap kasus Alih hingga ke akarnya. Masih banyak kabut gelap yang merintangi.
Yang jelas istri Alihlah yang paling menderita. Orang yang menjadi satu-satunya tumpuan keluarga telah tiada. “Maksudnya membunuh itu apa? Saya bingung suami saya dibunuh sampai mengerikan,” kata perempuan yang sedang hamil lima bulan itu. []
Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
“Kok rasanya begini?” perasaan hati Hasiri Muttaqin dilanda gundah. Ia mencoba menepis perasaan itu dan tetap naik mimbar menyampaikan khotbah shalat Idul Fitri 1427 Hijriah, hari Selasa 24 Oktober lalu, di lapangan Yayasan Kharisma Usada Mustika (Yaskum) yang berada di Kembangan Baru, Jakarta Barat. Di atas mimbar Hasiri merasa hambar. Tak seperti biasanya.
Keesokan harinya, pembina Yaskum itu memutuskan berangkat bersama keluarga ke Garut, Jawa Barat. Di kota dodol itu, pria kelahiran Bangkalan, Madura tersebut berniat silaturahmi dan berziarah ke makam Muhammad Syamsu Bulganon Abdullah, sesepuh Yaskum sekaligus mertuanya. Hari Kamis malam, perasaan resah gelisah malah menjadi-jadi tak karuan. Ia pun tak kuasa tidur hingga larut malam. “Ada apa ini?” hati kecilnya kembali bertanya-tanya.
Tanda tanya itu terjawab ketika Muhammad Mamat Hasbullah, salah satu pimpinan Yaskum, menghubunginya lewat telepon.
“Ada kejadian di Bogor,” katanya di ujung telpon
“Kejadian apa?” tanya Hasiri.
“Itu ada murid Pak Munir yang di Bogor dikeroyok massa lalu meninggal.” Jawab Mamat seperti diceritakan Hasiri kepada Syir`ah.
Pak Munir itu nama panggilan dari Munir Anwar, ketua Yaskum cabang Cipondoh Tangerang. Sedangkan murid Pak Munir yang dimaksud adalah Mohammad Alih Sobari. Warga kampung Bobojong, desa Petir, kecamatan Darmaga, kabupaten Bogor ini sehari-hari bekerja di ladang dan beternak ikan gurame. Sejak tahun 1999 ia aktif sebagai anggota Yaskum.
Yayasan ini sudah melakukan kegiatan sejak 1969. Pendirinya Muhammad Syamsu Bulganon Abdullah (alm.), atau biasa dipanggil Aki Syamsoe. Garapan utamanya pembinaan mental dan spiritual. Baru tahun 1996 berbadan hukum dan diberi nama Yaskum. Dalam aktifitasnya, kata Hasiri, Yaskum tidak merambah soal-soal fikih. Tapi, lebih pada aksi sosial, antara lain pengobatan baik secara medis maupun spiritual, penanganan korban narkoba, memberikan beasiswa, dan mendirikan usaha mandiri. Kini, jumlah anggotanya kurang lebih 4 juta orang yang tersebar di 27 provinsi.
Malam, 26 Oktober, menjadi malam kemalangan bagi Alih. SEbulang dari acara tahlilan pukul 19.30 WIB, pria berusia 40 tahun itu shalat Isya di masjid Uswatun Hasanah, masjid tak jauh dari rumahnya. Jaraknya sekitar 45 meter. Usai shalat Alih berniat pulang ke rumah. Begitu keluar, Alih langsung dihadiahi pukulan dan tendangan oleh beberapa orang, kopiahnya jatuh ke tanah dan ia tersungkur.
Alih sempat melarikan diri, tapi langsung ditangkap oleh massa yang sudah menunggunya. Berdasarkan penyelidikan Kepolisian Sektor Darmaga, Bogor, waktu itu ada sekitar 250 massa yang berasal dari tiga kampung: Bobojong, Sempur, dan Ijul.
Kemudian, Alih diseret kurang lebih 200 meter dari masjid menuju villa kosong. Di villa yang terletak di perbatasan kampung Bobojong dan desa Petir itulah Alih dipukul ramai-ramai. Golok, kayu, batu, secara tak beraturan bersarang ke tubuh dan wajah bapak dua orang anak ini.
Darah Alih tak terbendung, mengalir deras membasahi pelataran villa milik warga Jakarta bernama Syamsul Bahri, yang sudah lama tak berpenghuni itu. Alih babak belur dan tergolek merintih lirih. Tak jelas ia melafalkan apa, bibirnya tampak bergerak-gerak tanpa suara. Massa yang masih kalap itu menyeret Alih ke kantor kepala desa. Di tengah perjalanan, ada mobil angkutan kota (angkot) melintas, lalu berhenti seketika. Melihat si korban, supir angkot terperanjat. Ternyata, yang babak belur itu adalah rekannya.
Tanpa pikir panjang, Alih dimasukkan ke dalam angkot. Tapi, massa tiba-tiba merangsek ke mobil itu. Mereka tahu kalau sopir itu ternyata pengikut Alih yang bernama Uca. Sembari menyetir mobil yang ditumpangi jasad Alih, Uca dihujani pukulan dan tamparan lewat jendela mobil. “Uca pun terus tancap gas hingga lolos,” kata Muhammad Bulganon Amir, Ketua umum Yaskum.
Menurut versi sumber lain massa tidak sampai memukuli Uca. “Ada beberapa orang yang mau memukul tapi tak jadi karena ada yang melarang,” katanya.
Mobil yang dikendarai Uca tadi akhirnya bertemu mobil ambulan di daerah kampung Jadipa, di depan masjid jami Al-Mubarok, kurang lebih 1,5 kilometer dari tempat kejadian.
Jasad pria yang juga mahir mengobati orang sakit itu dipindah ke mobil ambulan dan dibawa meluncur ke rumah sakit Palang Merah Indonesia Bogor. Di rumah sakit itu Alih dipastikan tak bernyawa. “Sejak suami saya keluar rumah untuk tahlilan, saya tidak tahu lagi, tahu-tahu dia sudah meninggal. Tak tahu meninggalnya jam berapa dan ketika di mana,” kata Mintarsih dengan lirih saat ditemui Syir’ah di kediamannya.
Sejak peristiwa itu, aura warga dan suasana kampung Bobojong mencekam. Tak terdengar suara keras apalagi tawa anak-anak di kampung itu saat Syir’ah investigasi ke lokasi kejadian. Hujan rintik-rintik turun mengiringi langkah setapak demi setapak. Puluhan pasang mata menatap Syir’ah dengan tajam. Wajahnya mengunjuk roman curiga juga takut. Tepat di belakang masjid Uswatun Hasanah, ada sosok pria setengah baya mengaduk-ngaduk pasir dan semen. Syir’ah mendekat, menyapa, dan bertanya?
“Apa benar peristiwa yang menimpa Pak Alih terjadi di sini?” tanya Syir’ah sembari menunjuk ke masjid.
“Saya tidak tahu, tidak tahu...” jawab pria itu sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Hujan semakin deras dan lebat. Syir’ah pun menepi di rumah salah seorang warga. “Saya tidak tahu apa-apa Mas... jangan tanya saya,” ujar si pemilik rumah yang membuat Syir’ah tersentak dan heran. Niatnya hendak berteduh malah disangka akan bertanya. Bahkan, beberapa rumah warga yang mulanya pintunya terbuka, begitu melihat Syir’ah yang bawa tas ransel dan menenteng kamera, langsung menutup pintunya. “Brak...!”
Sejenak Syir’ah kebingungan harus mencari informasi pada siapa. Nampaknya ada semacam aksi tutup mulut. Akhirnya Syir’ah mampir di kedai kecil dekat masjid untuk menghela nafas sembari minum teh hangat. Tak terduga, di kedai itulah pintu informasi terbuka lebar.
Penjaga kedai bernama Neneng. Wanita belasan tahun berkulit putih ini ternyata masih ada hubungan darah dengan Alih. Ibunya adalah saudara kandung Mintarsih, istri Alih. “Main aja Mas ke rumah Pak Alih, keluarganya terbuka kok,” anjur Neneng.
Syir’ah lalu menuju rumah Mimin, panggilan akrab Mintarsih (30 tahun). Seorang anak remaja menyambut di depan pintu. “Itu ibu saya,” kata Alfiansyah, usia 15 tahun, putra sulung Alih. Sosok wanita berkulit sawo matang, tinggi badan sekitar 150 sentimeter, dan rambutnya panjang terurai mempersilahkan Syir’ah masuk. Perutnya buncit sedang hamil.
Di tempat berukuran 5X4 meter itu Syir’ah beramah-tamah dengan Mimin dan dua orang anaknya. Anaknya yang kedua bernama Aldevianti, berusia tujuh tahun.
Peristiwa sebulan yang lalu tak pernah dilupakan Mimin. Apalagi saat ditinggal Alih, Mimin tengah berbadan dua, dengan usia kehamilan empat bulan. “Saya tak habis pikir, mengapa mereka tega membunuh suami saya, apa kesalahan dan dosa-dosa dia?” kata Mimin dengan suara lirih. “Saya juga tidak mengerti, kata orang-orang, suami saya menyebarkan aliran sesat,” imbuhnya.
Menurut Muhammad Iqbal Iskandar, pengasuh pesantren Hidayah al-Bayan yang berada di desa Bobojong, tuduhan itu muncul dari warga Bobojong. Ada beberapa kegiatan yang menyebabkan tuduhan sesat itu dialamatkan kepada Alih. Antara lain, kalau tengah malam ada ritual dzikir yang disebut “laporan ke Tuhan”.
Dengan dasar itu Syir’ah bertanya pada Mimin, “Apa yang dilakukan Ustad Alih saat tengah malam?”
Sebelum menjawab, wanita kelahiran Bobojong ini mengklarifikasi. “Suami saya kok dipanggil ustad sih?, Alih itu bukan ustad, dia orang biasa,” katanya. Warga Bobojong biasa memanggilnya Abang atau Kakak.
Mimin lalu menjelaskan apa yang dilihat ketika tengah malam. Alih, anggota Yaskum itu kalau tengah malam, menurut Mimin, sering tidak tidur. Kalau ada teman-temannya, dia mengajak mereka untuk dzikir kepada Tuhan dan shalat Tahajud. Lampu ruangan dimatikan. “Kata suami saya, biar lebih khusyuk,” urai Mimin.
Menurut Hasiri, pembina Yaskum, bacaan dzikir yang digunakan anggota Yaskum tidak ada yang berbeda, layaknya bacaan masyarakat yang lain. “Mulai dari allĆ¢hu akbar sampai lĆ¢ haula walĆ¢ quwwata...” kata Hasiri saat ditemui Syir’ah di studio Metro TV sambil menyodorkan lembaran bacaan dzikir yang berlaku di Yaskum.
Selain itu, Alih juga dituduh mengajarkan ritual shalat yang cukup dengan niat saja. Giliran Muhammad Bulganon Amir angkat bicara. Ia menjelaskan kepada Syir’ah ketika ditemui di kantornya di Kembangan Baru Jakarta Barat 25 Nopember lalu. Abang Ebul, panggilan akrabnya, malah balik bertanya. “Kenapa banyak orang shalat tapi kelakuannya masih bejat?” Baginya, ini akibat menjalankan shalat hanya sebatas ritual. Shalat itu harus dilandasi dengan kesadaran, dan kesadaran itu butuh proses.
Dalam kasus Alih, Abang Ebul memberi tanggapan. “Apa benar dia menyebarkan shalat hanya dengan niat, sementara dia dibunuh habis shalat di masjid,” tandasnya.
Menurut Mimin, suaminya juga kerap dituduh menyebarkan ajaran yang melarang orang menunaikan haji ke Makkah, tapi cukup di Cipondoh Tangerang saja. Abang Ebul kembali menjelaskan dengan fakta. Ia memanggil salah seorang anggota Yaskum, yang kebetulan berada di dekatnya. Ia lalu bertanya ke sosok perempuan tua yang masih kelihatan enerjik itu.
“Bu, tahun lalu kan Ibu baru saja haji. Waktu itu Ibu haji ke mana?” tanyanya santai. “Ya ke Makkah lah.” Jawab perempuan itu sembari terheran. Abang Ebul terdiam sejenak. “Kalau melarang haji bagi orang yang tak mampu itu memang benar, tapi kalau melarang orang haji ke Makkah itu baru fitnah,” tegasnya.
Hingga kini, Majelis Ulama Indonesia belum memberikan keputusan ihwal Alih. “Masalah ini kami limpahkan ke pusat dan masih dalam proses pengkajian,” kata Ketua MUI Kabupaten Bogor Ahmad Mukri Aji saat dihubungi Syir’ah pertengahan Nopember.
Rencana warga Bobojong untuk menghakimi Alih ini bukan kali pertama. Tahun 2005, warga sudah mau mengusir Alih. Untung saja, waktu itu dia diselamatkan oleh salah seorang warga lalu dibawa pergi ke wilayah Tangerang, Banten. Alih selamat. Selang beberapa bulan, sekitar tiga bulan, Alih balik lagi ke Bobojong. Kasak-kusuk warga pun kembali merebak.
Menurut versi Iqbal masyarakat setempat melihat ada perbedaan ritual yang dilakukan Alih dan anak buahnya. Kemudian mereka tak bisa menerima sesuatu yang berbeda dan akhirnya ditanggapi dengan emosi. “Kayaknya mereka sudah kesal dengan Alih,” kata alumnus Universitas Ibnu Khaldun ini.
Berbeda hal dengan analisis Abang Ebul. Menurutnya, tragedi yang menimpa Alih dipicu rasa iri atau dengki. Pria yang umurnya sudah berkepala lima ini memandang kasus ini dari sudut sosiologis. Alih itu orang kampung yang biasa-biasa saja, tidak lebih pintar dari ustad-ustad di daerah sekitar.
Namun ia dikenal pandai mengobati orang. Setahu Mimin, Alih tidak buka praktik khusus. Tapi banyak orang yang datang minta disembuhkan penyakitnya. “Alhamdulillah sembuh,” kata Mimin. Dari saudara, tetangga bahkan orang luar kampung juga datang meminta tolong.
“Tapi, mengapa Alih lebih sering didatangi orang-orang, bahkan dari luar desa?” tanya Abang Ebul. Pada titik inilah kecemburuan sosial itu bercokol. “Karena itu, kasus ini harus dituntaskan secara hukum, dan dalangnya juga harus tertangkap,” tegas pria berdarah Aceh ini.
Meski sudah ada empat tersangka yang diciduk polisi, mungkin butuh cukup waktu untuk mengungkap kasus Alih hingga ke akarnya. Masih banyak kabut gelap yang merintangi.
Yang jelas istri Alihlah yang paling menderita. Orang yang menjadi satu-satunya tumpuan keluarga telah tiada. “Maksudnya membunuh itu apa? Saya bingung suami saya dibunuh sampai mengerikan,” kata perempuan yang sedang hamil lima bulan itu. []
Syir`ah, Edisi 60, Desember 2006.