Mahabbah atau cinta dalam doktrin sufi memberikan resep hidup sukses. Sekaligus trik-trik mencetak gelimang prestasi dalam kehidupan.
Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Nabi Isa suatu ketika melakukan pengembaraan. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan tiga orang. Tubuh mereka kurus kering dan lemah lunglai. Wajah pun pucat pasi.
“Apa yang terjadi dengan diri kalian?” tanya Isa.
“Karena kami sangat takut neraka,” jawabnya.
“Semoga Allah melindungi kalian dari api neraka,” panjat Isa.
Perjalanan pun berlanjut. Kali ini, al-masîh, julukan untuk Isa, bertemu dengan tiga orang lagi. Kondisi mereka lebih parah. Tak tampak sedikitpun lemak di tubuhnya. Kelopak matanya cekung. Kulitnya kering dan bibirnya pecah-pecah.
“Apa yang terjadi dengan diri kalian?”
“Sebab kami sangat mengharap surga.”
“Semoga Allah memberikan apa yang kalian harapkan,” Isa kembali berdoa.
Pada kesempatan lain. Tanpa disengaja, Isa bertemu lagi dengan tiga orang. Mereka tampak tidak muda. Tubuhnya tidak tegap dan tenaganya tak sekuat orang usia produktif, antara 25 sampai 45 tahun. Kulitnya kendor dan keriput. Tapi, wajahnya terlihat cerah. Tak tergambar sedikit pun kesedihan dan kelelahan. Orang Jawa bilang, sumringah, tampak berseri-seri dan seakan bercahaya.
“Mengapa kalian tampak seperti itu?”
“Kami amat mencintai Allah.”
“Antum al-muqarrabûn, kalianlah orang-orang yang didekatkan kepada Allah,” kata nabi Isa.
Kisah ini diceritakan oleh Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) , Tusidalam al-Mahabbah wa al-Syauq, cinta dan kerinduan. Dari kisah ini Sang Hujjatul Islam itu hendak mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam spiritual. Bukan takut akan neraka apalagi pengharapan akan surga. Allah sendiri menyatakan dalam surat al-Maidah ayat 54, “Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” Hubungan saling mencintai inilah yang diidam-idamkan para sufi.
Cinta dalam bahasa Arab disebut mahabbah atau hubb. Berasal dari kata habb, artinya biji-bijian. Biji inilah yang akan menumbuh-kembangkan tunas-tunas kebajikan dalam diri manusia. “Setelah mahabbah kepada Allah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah yang mengikutinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla),” tulis al-Ghazali.
Tangga Spiritualitas Cinta
Tak semua orang mempunyai kesetaraan atau standar yang sama dalam bercinta. Karena itu, sufi yang bergelar thawus al-fuqara (si burung merak orang-orang fakir) Abu Nasr al-Sarraj (w. 988 M) memberi rambu-rambu tingkatan spiritualitas cinta.
Pertama, cinta yang bersemi karena suatu kebaikan dan belas kasih. Sebagaimana sabda Nabi, “Hati manusia dicipta sesuai kodratnya untuk cenderung mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, dan membenci orang yang berbuat jahat kepadanya.” Ini adalah jenis cinta yang jamak terjadi di kalangan orang awam.
Misal, ada orang yang sehari-hari selalu berbuat jahat dan culas. Suatu ketika, ia jatuh sakit selama bertahun-tahun. Tak ada dokter yang sanggup mengobati. Selang beberapa tahun, ternyata penyakitnya itu disembuhkan tabib yang alim. Ia baru sadar tentang kemurahan dan belas kasih Allah, lantaran sang tabib. Karena kebaikan dan kasih sayang, yang diyakini dari Allah itu, menjadi penyebab taubat. Inilah cinta seseorang yang timbul akibat kebaikan dan belas kasih yang diperoleh.
Kedua, cinta yang timbul dengan sendiri karena melihat keagungan dan kebesaran Allah. Antara lain melalui perenungan dan berfikir mendalam tentang kekuasaan dan kebesaran Tuhan, sang pencipta jagad raya. Model ini dikategorikan cinta orang-orang jujur (al-shâdiqîn) dan sanggup menangkap nilai-nilai ketuhanan yang hakiki (al-muhaqqiqîn).
Ini bisa dikiaskan seperti cinta seorang wanita terhadap pria pujaan hati. Cinta itu tumbuh karena ia yakin, pria yang dikenalnya itu sosok yang luar biasa: gagah, tinggi, hidung mancung, ganteng, sopan, dan rendah hati. Wanita itu tak peduli, apakah pria itu mencintainya apa tidak, berbuat baik kepadanya apa tidak. Yang penting, pria itu adalah sosok yang sempurna di matanya. Karena itu, ia patut mencintainya. Bisa dibilang, cinta karena kesempurnaan.
Ketiga, cinta yang merebak tanpa sebab dan alasan apapun. Orang yang mengalami tingkatan spiritual ini tak mengenal alasan. Baginya, alasan itu terbatasi ruang dan waktu. Sementara cinta yang sesungguh-sungguhnya adalah tak bisa dibatasi dan tak kenal ruang dan waktu. Seakan-akan, orang yang cinta dan yang dicintai menjadi satu kesatuan, tanpa ada tendensi apapun. Ini adalah tingkatan orang-orang jujur (al-shâdiqîn) dan orang-orang makrifat (al-`ârifîn), yang disebut cinta sejati.
Ibarat dua sejoli yang saling memadu cinta. Tulus dan tanpa tendensi apapun. Tingkatan inilah yang tertinggi dalam spiritualitas cinta. Satu misal. Jamaknya orang mencintai wanita “karena” perangai. Bagaimana jika suatu ketika perangai itu sirna, karena dimakan usia atau kecelakaan? Bisa jadi cinta akan berpaling. Karena, penyebab kecintaannya itu hilang. Cinta dengan tendensi, atau karena sesuatu, inilah yang tak dikenal pada tingkatan ketiga ini.
Beribadah tanpa Beban
Cinta kepada Allah bukan sekadar mengharapkan pahala dan menghindar siksa. Tapi, semata-mata berusaha melaksanakan kehendak Allah, dan melakukan kebaikan apa saja sebagai bukti cinta kepada Sang Khalik. Rumusan cinta ini seperti tergambar dalam doa Rabiah al-`Adawiyah.
“Oh Tuhan, jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena berharap surga, maka campakkanlah aku dari sana. Tapi, jika aku menyembah-Mu karena cinta Engkau semata, maka janganlah engkau sembunyikan keindahan-Mu yang abadi,” panjat sufi kelahiran Basrah, Irak, yang wafat tahun 801 M itu.
Dengan begitu, tak ada lagi beban yang melintang. Semua dijalani atas dasar cinta. Contoh dalam tingkah keseharian. Banyak orang merasa, kalau sudah menjalankan shalat, terasa plong dan bebas dari kewajiban.
Bagi al-Ghazali, orang seperti ini masih menduduki tingkatan rendah dalam ibadah. Belum masuk golongan pecinta sejati. Sebab, ia masih memandang, menjalankan kewajiban itu suatu keharusan. Jika ditinggal, maka bayangan kobaran api neraka terus menggelayuti.
Karena itu, shalat yang seharusnya dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, serta sarana pembersih hati dari “kotoran”, menjadi tidak relevan atau tidak tepat lagi. Shalat akhirnya menjadi beban. Bila telah ditunaikan, maka beban itu hilang sementara, dan akan datang lagi saat waktu shalat tiba kembali. Begitu seterusnya.
Kalau memang begini adanya, maka suatu kewajaran, jika orang shalat tapi kelakuannya tetap bejat. Allah berfirman, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya,” QS. al-Ma`un ayat 4 sampai 5. Pengikut tarekat syadziliyah Ibnu `Atha`illah dalam Al-Hikam (beberapa hikmah) berkata, wujud shalat yang sebenarnya bukan hanya sujud dan rukuk, tapi kesempurnaan dalam menunaikannya. Tak ada kata beban, jika kewajiban dijalankan atas dasar cinta.
Meningkatkan Prestasi
Prinsip cinta ini, bukan spesifik soal ketuhanan saja. Tapi, sejatinya juga masuk dalam ranah kehidupan sehari-hari. Mungkin banyak yang belum memahami, cinta adalah kunci sukses meraih prestasi.
Misal dalam dunia kerja. Biasanya, orang merasa bekerja adalah jenuh dan membosakan. Karena itu ada ungkapan, ”Thank god it’s friday, i hate Monday.” Kebanyakan orang merasa gembira pada hari Jum’at, sebab Sabtu dan Minggu adalah hari libur. Berbeda dengan hari Senin, hari masuk kerja. Orang-orang membencinya karena banyak kerjaan menumpuk di kantor yang harus dirampungkan. Jadi, orang bekerja ibarat memikul beban.
Kalau begitu, mana mungkin seseorang berprestasi dalam pekerjaan, sementara ia menganggap, pekerjaannya itu adalah beban berat. Hasilnya pun biasanya tidak akan optimal. Yang ada malah bosan dan kejenuhan. Betul tidak? Karena itu, harus disiasati.
Jalan keluarnya adalah mencintai pekerjaan. Bekerja tak dapat dipahami hanya untuk mencari nafkah saja. Tapi, bekerja adalah perwujudan misi. Itulah hal utama yang harus ditata. Mau diarahkan ke mana dan apa yang ingin digapai? Setelah terjawab, tinggal memilih pekerjaan yang sesuai.
Lalu, coba rasakan, bekerja dengan penuh rasa cinta akan jauh berbeda dengan bekerja karena uang semata. Jika mengerjakan tugas sehari-hari dengan penuh rasa cinta, tentu hasil optimal sangat mudah diraih. Atau, kalau masih tidak percaya, tanyakan ke orang-orang sukses dengan bejibun prestasi. Tentu mereka akan menjawab, “Karena saya cinta dengan apa yang saya kerjakan.”
Ini juga bisa diterapkan dalam dunia pembelajaran ilmu. Banyak siswa tidak lulus sekolah, umumnya, karena nilai matematikanya buruk. Terpaksa ia harus tinggal kelas. Kalau ditebak, masalah hanya satu, karena ia tidak bergairah dengan matematika. Kalau sudah tidak cinta, semuanya akan sia-sia. Guru menerangkan sampai berbusa-busa pun, paling masuk telinga kiri keluar telinga kanan.
Berbeda dengan siswa yang nilai matematikanya sempurna. Ia pasti suka bercengkrama dengan rumus-rumus, yang kata orang memusingkan itu. Mengapa bisa begitu? Ya karena cinta.
Alkisah, ada seorang santri bertanya kepada gurunya. Ia berkonsultasi. Tiap kali ia hendak belajar, rasa kantuk selalu menyerang. Gurunya menjawab enteng, “Karena engkau tidak cinta dengan apa yang kau pelajari.” Guru itu dikenal sebagai pribadi yang alim, zuhud, dan dikenal sebagai ahli falak (ilmu astronomi). Namanya Zubair Abdul Karim (alm.), salah seorang sesepuh pesantren Qomaruddin di Jawa Timur. Ia berbagi pengalaman, “Kalau saya belajar ilmu falak, rasa lapar jadi kenyang, dan rasa kantuk jadi bugar.” Apa pasal? Sekali lagi karena cinta. []
Syirah/Edisi 62/Februari 2007.