Friday, February 16, 2007

Terhalang Cita-cita Pembangunan



Pro kontra seputar isu-isu perempuan tak hanya marak dewasa ini. Poligami, trafiking, kekerasan rumah tangga, pendidikan perempuan, pernah menjadi perdebatan dahsyat antaraktivis perempuan pada masa pra kemerdekaan. Corak pemikiran mereka begitu majemuk, karena berangkat dari perspektif yang berbeda-beda.

Tapi, mengapa fakta itu tak mengemuka? Lies Marcoes Natsir menyayangkan penulisan sejarah yang miskin perspektif perempuan. Medio Januari, aktivis perempuan alumnus Amsterdam University Belanda ini menerima Abdullah Ubaid Matraji, wartawan Syir`ah, dan fotografer Adri Irianto di tempat kerjanya, jalan Adityawarman No. 40 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Ia membeber gerakan perempuan Islam yang tertutup sejarah itu.

Benarkah perempuan punya andil besar?
Ya. Gerakan perempuan Islam waktu itu tak lepas dari konteks perjuangan untuk keluar dari penjajahan. Kalau mempelajari kiprahnya, berarti terkait dengan organisasi-organisasi yang berkembang saat itu.

Contohnya organisasi apa?
Di perkotaan ada Aisyiah, organisasi perempuan Muhammadiyah, yang dipelopori Nyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). Ia bergerak dalam isu pengentasan kemiskinan dan kesehatan. Misalnya mencetuskan program pra koperasi di daerah Yogyakarta dan Solo. Sedang untuk kesehatan, Aisyiah membuka rumah sakit yang bernama Balai Kesengsaraan Umat. Balai ini digunakan untuk menampung korban banjir, kebakaran, kelaparan, dan bencana lain. Jauh sebelum ada koperasi dan puskesmas di masa orde baru, Aisyiah lebih dulu di era kemerdekaan.

Bagaimana dengan di pedesaan?
Yang banyak berkiprah adalah Muslimat, sayap gerakan perempuan Nahdlatul Ulama (NU). Persoalan yang banyak ditangani adalah pendidikan. Ada diskriminasi secara kultural kala itu. Laki-laki di desa lebih banyak memperoleh kesempatan pendidikan. Perempuan belum bisa masuk pendidikan formal, paling sebatas mengaji saja, seperti ilmu tafsir dan ilmu alat bahasa Arab(nahwu dan sharaf).

Aktivis yang menonjol adalah Sholihah, ibu Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Ia berjuang sampai masuk partai politik dan aktif di legislatif. Ia adalah generasi terakhir, aktivis perempuan di lingkungan Islam, yang tidak terkooptasi politik orde baru dalam mendomistikasi perempuan (memposisikan perempuan dalam peran ibu rumah tangga). Seperti program PKK (Program Kesejahteraan Keluarga) dan Darma Wanita. Gerakan aktivis perempuan pada periode Sholihah masih bisa mempertahankan bahwa perempuan masuk dalam domain (persaingan) kaum lelaki.

Isu-isu apa, antara lain, yang menarik gerakan perempuan tempo dulu?
Isu poligami. Isu ini adalah tonggak pegangan yang digunakan untuk melihat agenda politik kaum perempuan. Tahun 1920-an kelompok Istri Sedar, sebuah organisasi gerakan perempuan kiri (sosialis), melarang poligami. Sikap ini dimaknai oleh aktivis perempuan Islam seakan menyerang kolompok agama. Ini ditentang Persistri, organisasi perempuan Perguruan Islam (Persis). Mereka ingin membuktikan, meski menerima poligami, Islam tidak memojokkan perempuan.

Menariknya, Aisyiah muncul dengan pendapat progresif. Kalau ternyata poligami memunculkan mudarat, kenapa tidak dibaca ulang atau dipertanyakan kembali. Selain poligami, ada juga kasus trafiking. Di Medan, Sumatra Barat, ada kampanye besar-besaran penolakan perdagangan perempuan. Para aktivis perempuan muslim dulu begitu sensitif dalam isu-isu kemanusiaan. Inilah yang tidak terjadi di masa orde baru.

Memang, apa yang terjadi saat orba berkausa?
Pada masa orba, situasi menjadi susah. Orba punya cetak biru pembangunan. Bagaimana peran perempuan dalam pembangunan? Cetak biru orba terhadap peran itu menjadikan perempuan sebagai konco wingking (teman di dapur). Sejak itu, domestikasi perempuan dilakukan secara sistematis. Yaitu melalui program yang seakan-akan melibatkan perempuan, tapi sebenarnya adalah politis. Semisal PKK, Darma Wanita, dan lain-lain.

Mengapa itu dilakukan?
Orba punya cita-cita melakukan pembangunan. Pembangunan bisa dilakukan jika stabil. Stabilitas, menurut mereka, akan terjadi jika tidak ada pertentangan dan faksi-faksi. Namun, di tengah situasi ini, kita bisa mengatakan cukup beruntung, ketika Soeharto mengambil jarak dengan kelompok Islam, terutama NU. Mereka menjadi terpinggir. NU akhirnya punya dunia sendiri. Berwacana dan bekerja di masyarakat, serta tidak mau cawe-cawe (ikut campur) dengan politik Golkar.

Apa wujud keuntungan itu?
Di balik itu, pemikiran perempuan NU menjadi maju. Mereka lebih artikulatif dan maju karena menghadapi fakta kekerasan perempuan di desa-desa, kantong-kantong pesantren. Itulah yang menantang mereka untuk memperjuangkan hak-hak prempuan. Tingkat kematian perempuan di desa-desa akibat reproduksi itu dihadapi langsung aktivis Fatayat dan Muslimat. Begitu juga dengan isu trafiking. Justru yang merespon cepat dengan melahirkan buku Fiqh Anti Trafiking itu teman-teman NU.

Beda aktivis perempuan dulu dan sekarang?
Sama saja, yang beda hanya konteks. Misal soal trafiking. Dulu disikapi dari sudut kolonialisme. Kini dilihat dari sudut pandang globalisasi. []



Syirah/Edisi 62/Februari 2007. 

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes