Friday, February 23, 2007

Surat Ba’asyir Sulut Polemik

Oleh : ABDULLAH UBAID/SYIRAH/23-2-2007


Jakarta- Surat yang dikirim pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di Istana Negara kemarin siang (22/02), menuai kontroversi.

Surat yang berisi anjuran Ba’asyir agar SBY mengeluarkan dekrit atau kepres untuk kembali kepada Syariat Islam itu ditanggapi Masyhuri Naim dengan pertanyaan balik, “Apa pernah kita menggunakan syariat Islam, kok ada dekrit kembali kepada...,” tandas Rais Syuriah Pengurus Besar NU itu kepada Syir’ah.

Soal aturan negara yang berdasarkan syariat Islam, umat Islam mayoritas pasti setuju. “Termasuk saya,” katanya. Tapi, ia menambahkan, peraturan syariah itu bukan dalam bentuk formal seperti undang-undang. Formalitas syariat Islam tak begitu penting dan belum tentu bisa menjawab masalah. Yang lebih penting adalah penerapan substansi syariat Islam, misalnya prinsip keadilan, perdamaian, tolong menolong, dan sebagainya. “Buat apa kalau cuma formalitas,” cetusnya.

Yunahar Ilyas, ketua PP Muhammadiyah, berpendapat bahwa demokrasi yang lagi ditata di Indonesia ini merupakan pola ketatanegaraan yang dekat dengan sistem syuro (musyawarah) dalam Islam yang pernah dicontohkan Muhammad saw dan para sahabat. “Tinggal siapa yang mengisi pos-pos itu,” katanya. Orang yang mengisi kursi pemerintahan juga penting. Apapun sistemnya kalau pejabatnya bejat juga akan bermasalah.

Tidak demikian bagi Ismail Yusanto, jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ia memandang sudut pandang bangsa ini sudah salah kaprah. Seharusnya, sudut pandang ketatanegaraan itu sinkron dengan sudut pandang ketauhidan. Artinya, kalau SBY itu beragama Islam, maka dia punya tanggung jawab besar untuk menerapkan syariat Islam. “Saya setuju dengan pandangan ustad Abu,” tuturnya.

Abu Bakar Ba’asyir berpandangan, kalau presidennya muslim dan mengurus negara yang mayoritas muslim tapi tanpa penerapan syariat, Islamnya menjadi batal. Kecuali sudah berusaha tapi belum mampu. Ini diutarakan Ba’asyir tadi siang di depan Istana Negara, setelah gagal menemui SBY.

Manuver Ba’asyir ini ditanggapi enteng oleh Imdadun Rakhmat. “Tindakan Ba’asyir seperti itu tidak mengejutkan saya. Itu agenda lama,” terang intelektual muda NU itu. Syariah Islam yang dipahami Ba’asyir adalah penerapan fikih. Tidak bisa begitu. Rakyat Indonesia itu majemuk dan plural, maka tidak bisa menerapkan fikih Islam. Selain itu, jika syariah di formalkan, bisa jadi kalau orang Islam tidak sholat akan masuk bui. Kalau begitu, “Orang shalat bukan karena Allah, tapi karena takut diborgol polisi,” tegasnya.

Menanggapi gagasan Ba’asyir, Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Ahmad Fuad Fanani juga tak sependapat. “Syariat Islam itu bukan seperti obat sakit kepala yang cespleng langsung dapat menyembuhkan penyakit,” katanya. Masalah bangsa ini harus dipandang secara komprehensif, tidak bisa hanya dengan pendekatan agama atau tauhid. Menurutnya, Ba’asyir tidak menyadari bahwa Indonesia ini isinya bukan hanya orang Islam saja. Tapi ada multi agama, multi etnis, dan multi kultur. Jadi, “Formalisasi syariat Islam itu kurang pas,” tegasnya. []


| sumber: www.syirah.com |

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger by Pemuda - Premium Blogger Themes