Oleh Abdullah Ubaid Matraji
Kampung itu dihuni warga Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Mereka hidup berdampingan. Dalam hal mu`amalah, hidup bermasyarakat, perbedaan itu tak pernah mengemuka. Tapi jangan bilang kalau soal ibadah. Mereka punya pedoman fikih masing-masing yang tak bisa diganggu gugat.
Saking fanatiknya, ada dua masjid di kampung itu. Masjid ala NU dan ala Muhammadiyah. Rizal adalah warga Muhammadiyah. Pada bulan Januari lalu, ia kedatangan tamu, teman lamanya. Syamsul, nama pria itu. Ia seorang santri Langitan Jawa Timur, pesantren yang kental dengan NU.
Saat shalat Subuh, Syamsul bertindak sebagai Imam. Pada rakaat kedua, setelah iktidal, Syamsul mengangkat dua tangan seraya berdoa. “Amin… amin… amin…,” suara Rizal mengiringi doa qunut yang dipanjatkan Syamsul.
Usai shalat. Ayah Rizal masuk ke ruangan shalat di sudut belakang rumah. Ia menegur anaknya itu.
“Mengapa kamu tadi bilang amin… amin… ketika iktidal?”
“Saya mengamini doa qunut yang dibaca Syamsul.”
“Kenapa kamu shalat subuh pakai qunut? Ikut-ikutan Syamsul! Itu bid`ah. Nabi tak pernah melakukan itu. Kamu shalat subuh ulang. Shalat kamu tadi batal.”
Perdebatan terus berlangsung. Rizal melakukan itu dengan dalih “menghormati tamu”, tak lebih dari itu. Ayahnya masih tak mau terima. Rizal lalu menyitir kisah pada zaman sahabat. Alkisah, Utsman bin Affan berada di Mina dalam rangkaian ibadah haji. Ketika dhuhur tiba, ia shalat empat rakaat. Begitu pula dengan Ashar.
Peristiwa ini diceritakan sahabat Ibnu Yazid kepada Abdullah ibnu Masud. Menurut Ibnu Masud, tindakan Utsman itu adalah “musibah”. Sebab, Utsman telah meninggalkan sunnah Rasul dan Sunnah Abu Bakar dan Umar. Mereka mengajurkan shalat qashar ketika berada di Mina.
Anehnya, saat Ibnu Masud menjalankan haji. Ia tidak mengqashar dhuhur dan ashar. Mengapa? “Sekarang ini, Utsman adalah pemimpinku. Aku melakukan ini sebagai rasa hormatku kepadanya. Aku tidak menginginkan ada pertengkaran akibat perselisihan,” dalih Ibnu Masud.
“Apa benar cerita itu?” tanya ayah Rizal kepada Syamsul.
“Betul Pak, kisah itu termaktub dalam Sunan Abi Daud dan Sunan al-Baihaqi,” jawabnya. Sunan Abi Daud adalah kompilasi hadis karya Abu Daud (w. 889 M). Sedang Sunan al-Baihaqi adalah Sunan al-Baihaqi al-Kubra karya al-Baihaqi (w. 1066 M).
Ayah Rizal baru memahami. Ternyata, fikih itu tidak kaku seperti yang dibayangkan. Tapi, bisa saja berubah karena pertimbangan akhlak atau etika. Paska kejadian itu, Syamsul kerap diajak jalan-jalan oleh ayah Rizal.
“Mau ke mana Ayah, pagi-pagi kok mau naik mobil bareng Syamsul?” tanya Rizal.
“Saya kan mau menghormat tamu juga...” Gerrrr... [AUM]
Syirah/Edisi 62/Februari 2007.